Wednesday, May 6, 2020

VP Nonton #1: A Copy of My Mind, Love For Sale, and Love For Sale 2 (Part 1)

Firstly, ini bakal jadi review amatir.
Secondly, aku berusaha banget supaya nggak ada spoiler biarpun film-film ini bukan film baru.
Thirdly, reviewnya aku bagi jadi dua post supaya nggak capek bacanya.

#stayathome dan PSBB yang kelamaan akhirnya bikin aku berkesempatan buat nyoba nonton pake Netflix. Iya, baru sekarang pas nggak perlu mikirin besok mesti bangun subuh buat berangkat kantor.

Kenapa tiga film itu yang aku pilih?
Sebetulnya alasannya receh sih. Ya karena pernah denger film-film itu diomongin di medsos aja. Katanya bagus, tapi aku nggak pernah merhatiin kenapa dibilang bagus. Apalagi di pikiranku selama ini, film Indonesia kebanyakan cuma bagus di trailer, tapi fail pas ditonton beneran. Beberapa kali aku buktikan lewat film-film horor Indonesia.

Ternyata, tiga film ini bener-bener nggak seperti yang aku pikirkan. Walaupun genrenya drama, tapi aku puas nontonnya. Nggak ada adegan percintaan yang menye-menye sama sekali. Semuanya menceritakan kisah-kisah cinta yang dewasa.

Gitu aja?
Ya nggaklah! Makanya aku mau bahas satu-satu.

1. A Copy of My Mind

Chicco Jericho. Tara Basro. Disutradarai Joko Anwar. Tiga nama itu aja sebetulnya udah cukup jadi alasan untuk nonton film ini. Ceritanya juga unik: kisah cinta terapis salon kecantikan dan pembuat subtitle film bajakan yang berlatar masa pra Pilpres.

Jujur, sampai akhirnya Sari (Tara Basro) dan Alek (Chicco Jericho) ketemu, aku sama sekali nggak ada bayangan gimana akhirnya dua tokoh utama cerita ini bakal ketemu. Apalagi hubungannya sama situasi negara saat itu yang riuh menjelang Pilpres; mirip-mirip pra Pilpres 2014 sama 2019 kemarin. I had no idea at all.

Tapi, begitu akhirnya Sari dan Alek ketemu, that's where the magic happened, sampai filmnya selesai. Aku sama sekali nggak meragukan kualitas akting Tara Basro dan Chicco Jericho, tapi chemistry antara mereka tuh kaya effortlessly there. Natural banget, sampai ada kalanya mereka terasa kaya lagi nggak akting, dan aku merasa kaya nggak lagi nonton film. Sebagus itu.

Setting film ini juga nggak main-main sih. Sisi kumuh Jakarta digambarkan segitu detailnya sampai aku nyaris nggak percaya kalau di Jakarta ada tempat semiris itu. I mean, di sekitar rumah aku kontrakan kecil-kecil sekian pintu yang bahkan udah kelihatan bobrok dari luar tuh banyak, bukan hal aneh. Tapi aku miris banget waktu lihat tempat tinggalnya Sari.

Kalau nggak salah lihat, Sari ngekos (atau ngontrak?) di sebuah kamar di pemukiman padat penduduk yang akses ke sananya aja minim cahaya matahari, dan mirip pasar (?). Diceritakan banyak yang tinggal di bangunan kos-kosan itu, dan mereka bergiliran pakai 10 kamar mandi luar yang tersedia. Ini, aku bener-bener baru pertama kali tau model tempat tinggal seperti ini. Malah jadi sedih sendiri bayangin orang-orang Jakarta yang beneran tinggal di tempat-tempat begitu.

Sambil berjalannya cerita, sebetulnya lama-lama ya ketebak ini arah ceritanya ke mana. Digiringnya halus. Tapiiii, aku nggak suka endingnya. Bukan karena endingnya nggak bagus atau plot twist banget, tapi karena nggak berakhir seperti yang aku harap. Hehehe.

After taste: Kesel. Sari bego. Tapi Alek ganteng banget jadi impas.

(Next, aku bahas Love for Sale dan Love for Sale 2 di sini. Mariiii.....)

No comments:

Post a Comment