Tuesday, March 2, 2021

Covid Journey Part 1: The Story of Us



"Tapi kemudian, imajinasi justru menuntunku pada pertanyaan-pertanyaan lain. Dua yang terbesar: 
Apakah situasi bisa kembali normal, senormal sebelum ada pandemi? dan Apa aku bisa keluar dari masa pandemi dengan selamat?"

I wrote that last year on this very same blog, when The Cov's been around for 3 months. Sekarang, saat Covid sudah beredar sekitar setahun, aku masih belum bisa menjawab keduanya dengan yakin, karena keadaan sekarang nggak terlalu jauh berbeda dengan setahun lalu.

But I survived Covid-19.

Seperti waktu aku bercerita tentang Eden di sini, aku juga mau berbagi pengalaman selama berjuang melawan virus laknat itu; how I was, what I felt, and what I did. Setidaknya, itu yang bisa aku beri sebagai wujud syukurku karena sampai saat ini aku masih hidup, dan masih punya kesempatan untuk berbagi pengalaman. (Warning: this gonna be a long post.)

November 29th, 2020.
Aku, suami (R), dan anak (T) pergi ke rumah saudara yang mengadakan syukuran dan mengundang keluarga besar. Sampai di sana, tuan rumah sedang dalam kondisi batuk-batuk dan tidak memakai masker. Sialnya, kamipun tidak pakai masker di situ karena berpikir "Ah, keluarga ini." Sebelum tidur, masih nyium-nyium dan peluk-peluk si bayi.

November 30th
Senin. Aku berangkat ke kantor seperti biasa. Pagi itu kantor sepi, cuma ada 2-3 orang selain aku. Nggak mengagetkan sih, karena kantor menerapkan WFO 25% dan itu membuat kantor jadi lebih sering sepi daripada rame.

Pagi yang biasa, sampai R menelepon sekitar jam 10, dan mengabari kalau tuan rumah yang kami temui tadi malam, ternyata dilarikan ke rumah sakit dini hari tadi karena sesak nafas... dan positif Covid. I swear, I kinda feel the floor under my feet suddenly gone. Kemarin, kami ada di rumahnya sejak sore sampai hampir larut malam, kurang lebih enam jam, tanpa masker, tanpa jaga jarak, bahkan bersalaman. Yes, I know we were careless and we underestimated the situation. Learned the lesson, thank you. Setelah telepon kututup, aku langsung menghadap atasan, menjelaskan situasi sesingkat-padat-jelas mungkin, sekaligus minta izin untuk pulang dan isolasi mandiri.

Di rumah, setelah berdiskusi dengan R dan Tante (Y) yang biasa mengurus T tiap aku ke kantor, akhirnya diputuskan T diungsikan ke rumah Tante Y dengan segala resiko. It was a very hard decision, putting someone at such great risk. Bersyukur, Tante Y mau menjalankan protokol kesehatan secara ketat demi membantu kami menjaga T. Aku nggak kebayang kalau nggak ada mereka waktu itu.

Di hari yang sama, kami langsung ke Puskesmas terdekat untuk lapor diri dan menjelaskan jalur tracing kontak erat dengan suspect/pasien Covid. Puskesmas mencatat data diri dan nomor kontak kami. Selanjutnya, kami diminta menunggu jadwal tes PCR sambil isolasi mandiri di rumah (karena waktu itu kami terlihat tidak menunjukkan gejala).

December 1st
Kami mulai merasakan sedikit batuk dan sakit kepala, tapi suhu badan normal. Masih menunggu info jadwal tes PCR.

December 2nd
Walau suhu tubuh masih normal, aku mulai merasakan tenggorokan seret, bersin-bersin, dan hidung mampet. Meanwhile, R merasakan tenggorokan gatal, batuk yang lebih banyak dari kemarin, dan mulai sesak sejak sekitar jam 4 sore. Kami sudah cukup yakin kalau kami berdua terinfeksi Covid. Tante Y bilang, T di rumahnya nggak menunjukkan tanda-tanda sakit, nggak rewel juga.

Akhirnya Puskesmas menginfokan bahwa aku, R, dan T terjadwal untuk tes PCR besok, 3 Desember.

Of all 365 days in a year, we had to face it... on my birthday.

December 3rd. Happy Freakin' Birthday.
Nggak ada surprise cake tengah malam. Nggak ada ritual doa bersama saat pergantian hari. Kami berdua terlalu sakit untuk itu. Akupun rasanya nggak berani mengharap apa-apa selain supaya kami cepat sembuh, dan setidaknya, T nggak terinfeksi virus laknat ini.

Gejala makin jelas. Sakit kepala memberat, bersin dan mampet masih berlanjut. Tiap kali menarik ingus terasa seperti kemasukan air di hidung. Waktu bersin, hidung juga sakit. Aku nggak demam, tapi R mulai demam. Suhu badannya tembus 39°C. Nggak cuma itu, dia merasa paru-parunya nyut-nyutan, mual, dan kaki lemas. Tapi karena sudah terjadwal untuk PCR hari ini, kami paksakan ke Puskesmas.

T dibawa oleh Tante Y secara terpisah. Kami minta dia didahulukan supaya bisa pulang duluan. Jangan tanya gimana perasaanku melihat T yang baru berumur setahun lebih sedikit harus diswab. I've been through 3 swab test sessions before, none of them felt good. Anak kuat, dia cuma menangis sebentar sebelum akhirnya dia langsung dibawa pulang oleh Tante Y. Sedihhhhh, anak di depan mata, tapi nggak boleh dipegang.

December 4th
It was a painful waiting. Harus menunggu hasil PCR sekitar 3-4 hari sementara kondisi badan memburuk. I didn't sneeze anymore, tapi rasa hidung kemasukan airnya memburuk. Sakit kepala juga menggila. I was in a very bad shape.

Tapi, R lebih parah. Looks like the virus hit his feet badly. Dia bilang otot kaki dan lututnya nyeri, dan telapak kaki kanannya terasa lemas. Dia nyaris nggak bisa berjalan, dan harus menyeret kakinya saat akan ke toilet.

Walaupun kami diisolasi di kamar terpisah, sebetulnya kami nggak benar-benar steril dari kontak. As someone with a bit better state and no one else to take care of us, I have to check up on him several times a day, minimal untuk memastikan dia makan dan minum obat.

December 5th
Akhirnya merasakan the infamous anosmia. Nggak peduli seberapa dalampun aku mengendus minyak kayu putih atau parfum, nggak ada aroma apapun tercium. Hangatnya minyak kayu putih terasa, tapi nggak ada aromanya.

Bagi R, ini salah satu dari hari-hari terberatnya selama kena Covid. Anosmia, demam sampai 39,3°C, nggak bisa tidur, dan seluruh tubuh terutama kepalanya sakit.

Keyakinan kalau sudah positif Covid: 90%.

December 6th
Akhirnya hasil PCR keluar. Aku dan R positif, T negatif. Lega banget waktu tau T negatif, rasanya berkurang satu beban. Minimal, kemungkinan keluarga Tante Y tertular jadi mengecil, dan kami bisa fokus mengurus diri sendiri dulu.

Dengan berbagai pertimbangan, kami memutuskan untuk minta pihak Puskesmas agar tidak menginfokan kondisi kami kepada RT tempat kami tinggal, dan kami berkomitmen untuk tidak keluar rumah sama sekali serta menyanggupi untuk memenuhi kebutuhan kami secara mandiri. Keluarga Tante Y, G*food dan Sh*pee adalah pahlawan kami.

Pesanan G*food dan paket-paket dari Sh*pee berhenti sampai depan pagar. Tante Y bisa masuk hanya sampai teras, dengan masker dan sarung tangan plastik. Di teras kami sediakan sebuah kursi yang rutin disemprot desinfektan untuk jadi tempat drop barang.

Puskesmas meresepkan vitamin, antibiotik, obat demam, dan obat batuk. W, adikku, menganjurkan kami mengonsumsi Isoprinosine yang dia dengar dari dokter yang menghandle pasien Covid di kantornya. Jadi, sejak terkonfirmasi positif sampai selesai, kami mengonsumsi vitamin, antibiotik, obat batuk, dan isoprinosine (R juga konsumsi sanmol karena sering demam).

December 7th
Aku mulai bisa mencium bebauan walaupun masih sangat samar. Hidung terasa tersumbat walaupun tidak ada ingus.

December 8th
For me, the hell began here. Per hari ini, mulai merasa sesak. Batuk menggila, nafas pendek tersengal-sengal. Untuk ke kamar mandi yang jaraknya cuma 3-4 meter dari kamar isolasiku, rasanya seperti nggak sampai-sampai dan pingin ambruk aja karena nyaris nggak bisa bernafas.

This one is kinda self-diagnose, but I think I had parosmia and phantosmia. Iya, sudah bisa mencium bau. Tapi, bau nasi panas, bau minyak kayu putih, bau sampah basah, dan bau sabun cair, semuanya sama. Bahkan ketika aku nggak ada di dekat sumber bau-bauan tadi, aku tetap mencium bau sial itu. Seakan-akan baunya bercokol di dalam hidungku, dan aku nggak bisa menghindarinya.

Sebelum hari ini, nafsu makanku bisa dibilang baik-baik aja. Tapi setelah mengalami parosmia dan phantosmia, aku nyaris nggak bisa makan apapun. Semua makanan baunya menjijikkan, dan aku mual setengah mati setiap kali mencium bau makanan. Cuma sanggup 3-4 suap sekali makan, yang penting bisa minum obat.

Honestly, I kinda believed that I wouldn't survive.

December 9th-12th
Kondisi masih tetap sama. Badan sakit dan bolak-balik nangis walaupun sudah tau susah bernafas. Nggak ada interaksi dengan siapapun walaupun R ada di kamar sebelah dan kondisinya mulai mengalami perbaikan. Cuma bisa bayangin mukanya T supaya sanggup menguatkan diri.

Kesal juga, karena seharusnya tanggal 11 adalah hari kami pulang ke Balikpapan setelah tahun lalu tidak pulang karena masih pemulihan pasca lahiran T. T sedianya akan dibaptis setelah Natal di Balikpapan, tapi berkat Covid, semua rencana yang sudah disusun baik-baik itu hancur jadi debu.

Bersyukur punya teman-teman kantor yang baik, mereka mengirim pulse oxymeter untuk memantau saturasi oksigen dan supaya tau kapan harus segera ke rumah sakit. Ternyata walaupun sering sesak nafas, saturasi oksigenku mentok di angka 96. R yang kalau dilihat tampak lebih mendingan, saturasi oksigennya justru sempat berada di angka 94. Tapi karena hanya sesekali dan biasanya segera naik lagi, R nggak ke rumah sakit.

December 13th. Tolong ini jangan ditiru.
Di rumah, cuma kamar yang dipakai R yang ada ACnya. Di awal isoman, aku memutuskan untuk pindah kamar karena waktu itu R kondisinya lebih buruk dan butuh kamar yang lebih nyaman.

Karena kamar sebelah kurang nyaman dan aku kesepian (dan bosan), hari itu aku memutuskan untuk kembali ke kamar utama dan tidur dengan memakai masker di kasur bawah untuk menjaga jarak dari R walaupun kami berada di kamar yang sama. Kondisi fisik R saat itu sudah lebih baik. Aku masih batuk dan agak sesak, penciumanku juga belum normal, tapi setidaknya sudah lebih berdaya untuk bergerak.

Yang kulakukan jelas pelanggaran terhadap prinsip isolasi mandiri. Jadi, jangan ditiru ya.

Oh, hampir lupa.
Besok adalah jadwal PCR kedua kami.

Dan jadi awal rentetan kejadian tidak terduga yang membuat Desember 2020 terasa lebih pahit dari desember-desember lainnya. Semuanya aku tulis di sini.

No comments:

Post a Comment