Thursday, April 30, 2020

COVID-19: The Moment, The Change, and The Lesson

As per April 30th, 2020

Post ini menandai hari ke-44 #dirumah aja. Iya, sudah 44 hari mengurung diri.

Per 18 Maret 2020 kemarin, surat edaran untuk melaksanakan Work From Home a.k.a WFH berlaku. Seketika itu juga, aku nggak beraktivitas di luar rumah lagi. COVID-19, si virus hantu, sudah mulai gentayangan di Jakarta. Semakin hari, jumlah orang yang positif terjangkit bertambah, diikuti peningkatan juga di jumlah korban jiwa. Sejauh ini, cara paling efektif untuk memutus rantai penyebarannya cuma satu: hindari kontak dengan orang lain, karena siapapun berpotensi jadi carrier.
Those days are still fresh in mind. Penggunaan masker digalakkan sementara harga sekotak masker medis menggila sampai lebih dari tiga ratus ribu rupiah per kotaknya. Aku beruntung, masih sempat beli sekotak masker medis seharga empat puluh ribu, itupun murni karena polusi Bekasi dan Jakarta yang pekat banget; nggak kebayang apa aja yang kuhirup masuk ke badanku kalau nekat mendekat ke jalan tanpa masker.

Setelah masker langka, hand sanitizer ikutan langka. Tiba-tiba di semua tempat, benda yang tadinya dilirikpun jarang itu menghilang. "Habis, Mbak..." kata seorang pramuniaga di sebuah drugstore yang iseng kumampiri dan iseng kutanyai waktu itu, di suatu hari saat hand sanitizer lagi populer-populernya.

Have I mentioned panic buying yet? Itu juga kejadian. Untuk yang ini, aku dan Pak Suami pun ikutan jadi pelaku karena stok kebutuhan rumah kebetulan mulai menipis, dan takut semua-semua habis kalau telat. Pak Suami sampai bela-belain pergi belanja sendiri di supermarket. Dia bilang, banyak rak di supermarket yang kosong, termasuk rak mi instan. Semoga setelah pandemi berakhir, nggak ada pasien gangguan pencernaan gara-gara keseringan makan mi instan.

Rumah-rumah ibadah kosong. Hampir semua gereja menggelar ibadah online setiap hari Minggu. Umat Muslim yang biasa shalat berjamaah, diarahkan untuk beribadah di rumah masing-masing saja. Aku yakin pemeluk agama lainnya pun melakukan hal serupa; beribadah sendiri-sendiri. Sampai kutulis post ini, sesekali masih terdengar suara nggak setuju dari beberapa kalangan religius. "Takut sama Tuhan, bukan takut sama virus!" Yeah, right.

(Hampir) semua orang mulai menjaga dirinya masing-masing. Memakai masker, bahkan plastic gloves. Menyemprot desinfektan ke segala benda yang tidak bisa dimakan, termasuk uang. Mengurangi intensitas bepergian, bersosialisasi, bahkan sekadar keluar rumah, walau sebagian orang memilih nekat pulang ke kampung halaman dan mengabaikan himbauan pemerintah. One of my important plan, failed miserably due to this. Everything's cancelled.

Next, the internet's taking over. Zoom mengalami kenaikan omset sampai puluhan triliun saking populernya sebagai aplikasi video conference yang laris digunakan sebagai pengganti meeting tatap muka. Konser jarak jauh sudah banyak banget. Open your Instagram and you can easily find your favorite singer invites everyone to join their #collabjauh . Kelas-kelas online juga banyak. Beberapa platform malah ada yang kasih promo manis bahkan menggratiskan konten premium mereka demi mendukung gerakan #stayathome .

Yang ikut jadi banyak tanpa internet ada juga sih, dan ini sedih: Pengangguran.

Banyak perusahaan merugi karena pandemi. Bukan cuma karyawan yang deg-degan, pengusaha pun ketar-ketir. PHK massal sudah bukan hal aneh lagi. Kebutuhan tetap ada, cicilan tidak menghilang, tagihan membayang-bayang, penghasilan sudah wassalam. Ini juga terjadi pada mereka yang bekerja di sektor pendukung. Rumah makan dan warung, transportasi, mall; sama, semua terdampak secara signifikan. Perekonomian terpuruk.

Tenaga medis dan tenaga kesehatan jadi pahlawan saat ini. Seperti pahlawan yang kita tahu, mereka mengerahkan kemampuan mereka untuk berjuang, dengan perlengkapan seadanya cenderung minim, melawan sesuatu yang sedang datang menjajah. Mereka maju, bahkan meninggalkan keluarga dan orang-orang terkasih untuk melaksanakan panggilan mereka sebagai orang-orang yang berkompetensi, demi seluruh masyarakat Indonesia. Dan seperti pahlawan yang kita tahu juga, banyak di antara mereka yang gugur saat berperang.

Kalau harus menceritakan satu hal yang membuat hati hangat di tengah pandemi ini adalah bagaimana masyarakat bergerak dengan cara masing-masing untuk meringankan keadaan, kalau tidak bisa dibilang memperbaiki. Segala macam donasi terdengar. Donasi berupa uang yang disalurkan dalam bentuk sembako. Donasi berupa makanan untuk mereka yang dalam kondisi seperti sekarang masih harus ada di jalanan karena tuntutan mulut yang perlu diberi makan. Donasi berupa "setiap pembelian senilai xx, kami sisihkan xx untuk didonasikan kepada pihak yang membutuhkan". Perusahaan-perusahaan yang mengalihkan produksi mereka menjadi produksi masker medis dan hazmat suit untuk mengatasi kekurangan APD. Mereka yang berinisiatif memproduksi masker kain dengan harga yang jauh lebih terjangkau daripada masker medis. Bahkan mereka yang membagi resep masakan mudah di sosial mediapun, ikut membuat hati hangat.

Kabar baiknya, angka pasien positif COVID-19 yang sembuh sekarang sudah lumayan jauh melampaui angka kematiannya. Dan harga masker medis dan hand sanitizer bergerak turun, mengkhianati para penimbunnya yang masih berharap laba besar di tengah kesulitan.

Beberapa waktu lalu, beberapa influencer yang kufollow melempar pertanyaan kepada para followersnya. Pertanyaannya serupa: "Setelah pandemi berlalu, apa hal pertama yang ingin kalian lakukan?"

Aku, walaupun nggak ikut menjawab, ikut membayangkan. Aku mungkin ingin jalan-jalan tanpa tujuan aja, berkeliling Bekasi atau mungkin main ke Jakarta. Macetpun mungkin aku rela, toh nggak seberapa dibanding rasa bosan yang sudah dirasakan berkat masa #dirumahaja .

Tapi kemudian, imajinasi justru menuntunku pada pertanyaan-pertanyaan lain. Dua yang terbesar: Apakah situasi bisa kembali normal, senormal sebelum ada pandemi? dan Apa aku bisa keluar dari masa pandemi dengan selamat?

COVID-19 mengubah banyak sekali hal dalam hidup kita. Hal-hal sesederhana berjabat tangan atau nongkrong sambil ngopi dan rumpi, seketika jadi hal yang mahal sekali. And we took those things for granted. Aku membayangkan nanti, setelah pandemi berlalu, kita mungkin akan lebih menghargai waktu yang kita miliki untuk bercengkrama, tapi kebiasaan cuci tangan atau pakai hand sanitizer akan tetap melekat. Penggunaan masker tidak akan berkurang banyak. Mandi setelah bepergian, mencuci pakaian lebih sering, mengukur suhu tubuh, dan mewaspadai gejala flu dan sesak nafas sepertinya juga akan tetap dilakukan. Karena kebiasaan.

Post panjang ini kutulis supaya aku dan siapapun yang ikut baca, bisa terus mengingat masa-masa pandemi ini dan belajar dari pengalaman. Semoga kita semua bisa melalui pandemi dengan selamat, ya.

No comments:

Post a Comment