Tuesday, March 2, 2021

Covid Journey Part 2: Extended


(Kalau belum baca Part 1, silakan baca dulu di sini, supaya nggak bingung sama inisial-inisial yang disebut dalam cerita Part 2 ini.)

December 14th. PCR #2.
Seperti sebelumnya, kami berangkat ke Puskesmas pagi, ambil sampel, dan langsung pulang. Di perjalanan pulang, ada T dan Oom J (oomku, suami Tante Y) lagi main di jalan. T yang mengenali kami (dan motornya, tentu saja) langsung mendekat dengan muka girang, minta digendong. Demi apapun, sakit banget rasanya melihat ekspresi kecewanya waktu kami dengan sangat terpaksa nggak merespon dan harus buru-buru masuk rumah lagi. Seandainya boleh, langsung kuangkat dan kubawa pulang T waktu itu.

Sesampainya di rumah, W (adikku) mengirim chat via WhatsApp, dan mengabarkan kalau Mama demam. Seperti ada radar yang tiba-tiba menyala, kuminta W pergi membawa Mama untuk tes PCR dan minta Papa jangan tidur di kamar dulu. Hari itu juga, Mama tes PCR dan hasilnya akan keluar besok.

Seakan-akan belum cukup, datang kabar buruk berikutnya: A, anak sulung Tante Y, terkonfirmasi positif Covid.

Kabar itu datang seperti petir yang menyambar. Bagaimana tidak, A dan T berada di rumah yang sama, dan bila terkonfirmasi positif hari ini, kemungkinan besar A sudah terinfeksi sejak beberapa hari lalu. Kami kembali panik.

Di tengah kepanikan kami dan Tante Y sekeluarga, akhirnya diputuskan bahwa A diisolasi mandiri di rumah kami karena rumah Tante Y tidak memungkinkan untuk digunakan isolasi mandiri. A menggunakan kamar yang tadinya kugunakan untuk isolasi mandiri. Lagi-lagi pelanggaran terhadap prinsip isolasi mandiri, tapi cuma itu pilihan terbaik yang kami punya. A terisolir, dan mudah-mudahan Tante Y sekeluarga dan T tidak sempat terinfeksi. Tante Y sekeluarga pun akhirnya harus diisolasi juga untuk mencegah hal-hal tidak diinginkan terjadi. 

Dan akhirnya, RT dan tetangga jadi tau bahwa aku dan R sudah kena Covid lebih dulu :))

December 15th
Hasil PCR Mama keluar hari ini. Positif.

Dengan berbagai pertimbangan, Mama memilih untuk isolasi mandiri di rumah.

December 16th
Hasil PCR aku dan R keluar. Aku dinyatakan negatif, tapi R masih positif. Agak kaget karena secara kasat mata jelas banget kelihatan kalau kondisi fisik R jauh lebih baik daripada aku yang masih batuk dan sesak (I even thought that our test results was switched!) Agak panik juga, karena as I've told before, aku dan R sudah berbagi kamar walaupun pakai masker dan tidurnya berjauhan, dan sekarang aku nggak bisa pindah kamar karena satu-satunya kamar kosong di rumah dipakai isolasi mandiri oleh A. Jadi... yah, dengan segala resiko.

Tante Y sekeluarga tes PCR hari ini untuk tracing kasus A. Demi apapun, aku berharap virus sialan itu nggak mengenai mereka.

December 17th
Kabar buruk berikutnya datang: Papa mulai batuk dan demam.

Kecurigaan kalau Papa kemungkinan tertular Covid besar, karena ternyata tanggal 9 Desember kemarin, Mama dan Papa baru menghadiri sebuah acara bersama, yang belakangan aku tau ternyata acara itu digelar dengan mengabaikan protokol kesehatan. I was kinda disappointed because they were aware that me and R got Covid and suffering from it, yet they still attended that event, even after we reminded them gazillion times not to go anywhere unless necessary. Tapi nasi sudah jadi bubur, aku minta Papa untuk PCR segera.

Sudah? Oh, not that easy.

Di hari yang sama, datang kabar dari Tante Y kalau T demam (JENG JENG!) dan ini hal yang paling bikin stres dari sekian kisah extended ini. FYI, T belum pernah demam sebelumnya sejak dia lahir, bahkan setelah vaksinpun nggak. Kebayang dong paniknya aku: baru banget dinyatakan negatif, sementara R masih positif. Lalu di tengah pandemi seperti ini, kemungkinan virus sialan itu penyebabnya juga nggak bisa dinafikan. I was still very scared to go out, afraid that I might still be able to transmit the virus to people I meet, tapi di saat bersamaan aku pingin lihat dan gendong T secara langsung, berharap itu bisa membantunya lebih cepat sembuh. Kuputuskan untuk memantau via WhatsApp dulu sementara ini.

December 18th
Pernah ngerasain ketakutan dengar notifikasi WhatsApp sendiri gara-gara terlalu banyak kabar buruk datang bertubi-tubi? Well, this is my current state.

Papa terkonfirmasi positif. Sama seperti Mama, Papa memutuskan untuk isolasi mandiri di rumah. Tinggal W sendiri yang masih aman, dan mau nggak mau harus mengurus Papa dan Mama sekaligus dengan segala resiko.

Sementara itu, demam T memburuk. Hari itu aku memutuskan keluar rumah untuk pertama kalinya sejak awal Desember demi melihat langsung kondisi T. Lucky, rumah Tante Y cuma selisih tiga rumah dari rumahku.

I was very happy and at the same time very brokenhearted when I finally able to hold T in my arms again, after being separated for 18 days straight. Nggak nyangka, ketika akhirnya bisa gendong T lagi, dia lagi sakit. I can't help but cry when I felt his heating body.

Setelah diskusi panjang lebar dengan Oom, Tante dan R, kalau demam T nggak turun juga malam ini, besok dia harus dibawa ke bidan atau dokter.

December 19th
Karena demam T nggak kunjung turun, pagi itu kubawa dia ke Puskesmas. Entah karena situasi pandemi atau karena Puskesmas tau aku baru sembuh, T cuma dilihat-lihat aja, nggak disentuh sama sekali, walaupun tetap diberi obat demam. Mau protes, tapi aku bisa apa?

Siangnya, hasil PCR keluarga Tante Y keluar. They're clear, thank God! Dengan ini, status isolasi mandiri keluarga Tante Y dicabut. Bersyukur banget, karena cuma mereka support system yang bisa kuandalkan sekarang, sementara R masih harus diisolasi.

Merasa tidak puas dengan pelayanan Puskesmas dan suhu tubuh T terpantau masih stuck di 39°C, malamnya aku dan tante T membawanya ke praktek dokter spesialis anak terdekat, nggak peduli bahwa dokternya terkenal bagus tapi mahal, nggak peduli uang menipis setelah G*food tiga kali sehari sejak awal Desember dan suplai segala keperluan kena ongkir karena belinya pakai Sh*pee.

At least it was worth it.

Setelah diperiksa oleh dr. A, akhirnya ketahuan kalau T kena radang. Setelah sekian obat dan vitamin, akhirnya malam itu demam T turun, dan dia bisa tidur nyenyak.

December 20th
Mama mulai sulit makan. Aku lupa, apa Mama sudah mulai merasakan anosmia, yang jelas Mama nyaris nggak bisa makan, dan otomatis sulit minum obat juga. Plus, super sensitif. Walaupun nggak bilang, tapi kami agak yakin kalau Mama tertekan secara psikologis. Kesepian karena isolasi, penyesalan karena hadir di acara tempo hari, dan puncaknya, menjadi yang pertama positif di rumah dan menularkan Covid ke Papa.

Sementara itu, memperhatikan kondisi R yang sudah sangat baikan, dan mempertimbangkan kondisi T yang belum sepenuhnya pulih, kusarankan R untuk mengambil rapid tes antigen dengan pertimbangan kalau virus itu masih ada di tubuhnya, pasti akan terdeteksi. Di samping itu, menunggu jadwal tes PCR dari Puskesmas masih lama, dan menunggu hasilnya lebih lama lagi. Sayang waktu berhari-hari terbuang hanya untuk menunggu, padahal kondisi fisik sudah jelas baik. R akhirnya setuju untuk mengambil rapid tes antigen besok.

December 21st
A, anak Tante Y yang isolasi mandiri di rumah kami, menjalani tes PCR kedua hari ini. R juga mengambil tes antigen. Hasilnya: negatif (finally!) Senang banget, akhirnya kami berdua benar-benar negatif. Hasil tes antigen langsung kusampaikan ke bidan D. Dokter Puskesmas menyatakan status isolasi mandiri R dicabut. Setelah itu, R segera menemui T di rumah tante Y. At last, things are starting to get better.

That's what I thought.

Sorenya, bidan D menghubungi kami dan memberitahu kalau ada kekeliruan dalam keputusan dokter terkait pencabutan status isolasi mandiri R, karena salah mengira R sebagai pasien baru Covid. Ternyata, R masih tetap harus menjalani PCR sampai mendapat hasil negatif berdasarkan tes tersebut. R kembali diminta melakukan isolasi mandiri. Setelah melobi Puskesmas dengan pertimbangan hasil tes antigen yang sudah negatif, jadwal PCR ketiga R yang semula tanggal 24 Desember, dimajukan menjadi besok.

W meneleponku malamnya, mengabarkan kalau kondisi Mama memburuk dan Mama minta dibawa ke rumah sakit. Masalahnya, saat itu adalah puncak okupansi rumah sakit hampir di seluruh wilayah Indonesia. W panik, takut, dan bingung harus bagaimana karena dia sendirian. Nekat, aku mencoba menghubungi (mendiang) tante E (saat post ini ditulis, tante E baru saja meninggal dunia setelah berjuang melawan kanker payudara).

Tante E adalah mantan perawat dengan posisi strategis di salah satu RS terbaik di Balikpapan, sekaligus salah satu teman baik Mama. Tante E tau persis medical history Papa dan Mama dan tau bahwa mereka berdua memiliki komorbid. Berkat bantuan beliau dan Oom R, suaminya, malam itu juga Mama dan Papa masuk rumah sakit.

At this point, my only wish was "Mudah-mudahan, ini yang terburuk."

December 22nd
Aku nggak inget secara detail apa yang Mama dan Papa lalui selama berada di RS. Papa secara umum ada dalam keadaan baik selama dirawat, hanya batuk sesekali. Mama sepertinya mendapat perawatan intensif karena kondisinya lebih kurang baik dibanding Papa. Yang kuingat, selang oksigen tidak pernah lepas dari hidung Mama. Setidaknya, di rumah sakit mereka terkontrol dengan baik, dan resiko W ikut tertular jadi berkurang.

R menjalani PCR ketiganya hari ini.

December 23rd
Hasil PCR A keluar. Masih positif. Keluarga Tante Y panik lagi.

December 24th
Hasil PCR R keluar. Negatif asli kali ini :)) Ini menandai akhir perjuangan kami berdua melawan Covid. T juga sudah jauh lebih sehat. Tinggal menunggu A, Mama, dan Papa sembuh sebelum semua benar-benar bisa kembali seperti semula.

December 27th
Rumah disemprot desinfektan. Akhirnya hari ini T pulang, dan A pulang ke rumahnya dengan pertimbangan Puskesmas bahwa risiko penularan sudah menurun karena sudah lebih dari 14 hari sejak hari pertama terkonfirmasi positif.

A sendiri akan menjalani PCR ketiga besok.

December 28th
A menjalani PCR ketiga.

December 31st - Fin.
Hasil PCR A keluar, dan akhirnya negatif.
Papa dan Mama juga akhirnya bisa keluar dari rumah sakit, walaupun Mama pulang berbekal banyak catatan dari dokter.

Tepat sebulan ketika semuanya akhirnya selesai dengan baik.

Epilogue
Sesak nafas masih kurasakan sampai sekitar seminggu setelah aku dinyatakan negatif Covid. Entah ini efek permanen yang kuterima karena Covid atau faktor lain, tapi sampai saat ini nafasku pendek. Setiap kali harus bicara cepat, aku harus berhenti sesekali untuk menarik nafas.

Semua orang yang kuceritakan sempat terinfeksi Covid dalam dua blog posts ini, sekarang berada dalam keadaan baik, kecuali Mama. Karena komorbid dan histori penyakit yang pernah dideritanya, beberapa organ dalam tubuhnya masih berada dalam pantauan dokter, dan Mama masih harus menjalani kontrol rutin ke beberapa dokter spesialis.

Saat ini, pemberian Vaksin Covid-19 sudah berjalan, dan memasuki tahap kedua setelah menyelesaikan vaksinasi bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan pada tahap pertama. 

Tentu saja, Covidiots dan penganut teori konspirasi masih banyak. Masyarakat bahkan sudah mulai mengendorkan protokol kesehatannya lagi, dan mulai banyak kegiatan kumpul-kumpul yang terjaring razia PPKM.

Semoga vaksinasi sukses, penularan virus menurun jauh, dan manusia bisa bersosialisasi secara langsung dan berkegiatan secara normal lagi.

Last, I hope this blog posts reach those who need to see this, and I hope those who read this can take a good lesson from my experience. Once again, Covid is no fun.

Cheers. Salam 5 M.

No comments:

Post a Comment