Monday, June 30, 2014

Utopia 1.0: Perbedaan Adalah Perhiasan.

Hari Minggu yang tidak terlalu berbeda dengan biasanya. Langit berwarna biru-kelabu saat aku tiba di terminal bus sore itu. Akan segera kutempuh lagi tiga jam perjalanan menuju kota tetangga tempatku bekerja. Lelah? Tidak. Rutinitas mingguan ini sudah kurang lebih tiga tahun kulakoni. Begitu terbiasanya, hingga aku yang tadinya tidak bisa bepergian tanpa menenggak obat anti mabuk, kini sudah tak ingat lagi rasanya mabuk darat.

Kalaupun ada yang berbeda, hanyalah bahwa hari ini adalah hari pertama bagi umat muslim untuk berpuasa. Tidak banyak pengaruhnya padaku, karena aku tidak berpuasa.

Sambil memasang headset - karena musik adalah teman setiaku mondar-mandir tiga tahun ini - kulirik sekilas seorang wanita berkerudung yang baru saja naik bersama seorang pria berbaju koko mengekor di belakangnya. Wanita itu memilih duduk di kursi sebelah yang kebetulan masih kosong. Pria yang tadi mengikutinya, mengulurkan sebotol air mineral. "Untuk buka puasa," ujarnya. Wanita itu lalu meraih tangan sang pria, kemudian menyalami dan mencium punggung tangannya.

Perjalanan yang tenang. Hawa air conditioner membuat seisi bus cukup dingin hingga aku tertidur. Saat aku terbangun dan menemukan headsetku ternyata lepas dari telinga, hanya deru mesin bus yang samar kudengar. Tidak ada suara manusia yang berbincang. Sempurnalah hening dan dingin berkuasa. Kala keduanya berbaur seperti sekarang, ditambah memudarnya sisa-sisa bias cahaya matahari yang dengan cepat mengubah warna langit jadi biru kehitaman, aku merasa luar biasa nyaman.

Nyaris saja aku tertidur lagi saat kusadari bus yang kutumpangi menepi. Walaupun gelap, aku masih bisa melihat hutan di kanan kiri jalan. 'Kenapa busnya berhenti? Siapa yang mau naik dari tengah hutan begini?' batinku. Kulirik wanita yang duduk di sebelahku. Dia tengah asyik dengan ponselnya dan nampak tidak terganggu sama sekali dengan situasi ini. Dengan bingung, kucopot headset dari telingaku sementara kedua mataku berusaha mendapatkan informasi dengan memandang ke segala arah melalui jendela bus.

Masih sunyi, tapi tidak sesunyi tadi. Suara gemerisik segel botol air mineral yang dirobek terdengar dari beberapa arah, salah satunya dari wanita yang duduk di sampingku. Kulihat bibirnya bergerak-gerak tanpa suara, membaca doa sebelum ia meneguk air yang aku yakin pasti membuat dahaga yang entah sudah berapa lama dirasakannya itu lenyap seketika. Ya, bus menepi karena ini waktu berbuka puasa.

Wanita di sampingku melanjutkan acara berbuka puasanya dengan membuka kotak makanan yang dibawanya. Sambil mengaduk-aduk makanannya dengan sendok, ia menoleh ke arahku. "Mari makan, Mbak," katanya sambil tersenyum senang. Aku balas tersenyum sambil mengiyakan untuk menghormati ajakannya.

Sejenak, aku menyadari sesuatu dan merasa sedikit pilu.

Aku dan wanita itu. Kami berbeda keyakinan dan kami bisa duduk bersisian. Tenang, damai, tak saling merugikan. Dan aku yakin, kami bukan satu-satunya yang seperti itu. Seisi bus begitu tenang meskipun aku cukup yakin tidak semua penumpangnya berpuasa karena perbedaan keyakinan. Sungguh, tidak mustahil berjalan beriringan di atas perbedaan.

Kontras dengan suasana negeri dimana cerita ini terjadi. Betapa di banyak titik, perbedaan keyakinan diperlakukan ibarat dosa tak terampuni oleh beberapa pihak yang merasa berhak dan layak. Padahal, bukan kepada sesama manusia keyakinan itu ditujukan. Bukan pula kepada sesama manusia pilihan itu pada akhirnya dipertanggungjawabkan. Tuhan saja menciptakan berbeda, siapalah manusia untuk memaksakan yang berbeda menjadi sama?

Naifkah bila aku berharap suatu saat nanti, negeri ini menjadi sebuah negeri dimana penduduknya memandang perbedaan layaknya perhiasan?

No comments:

Post a Comment